. . .

NFT, istilah populer dari Non Fungible Token, merupakan jenis token yang merepresentasikan aset digital unik. Sebuah NFT misalnya, dapat merepresentasikan sebuah rumah mewah di kawasan elit di Jakarta. Tentu saja, NFT ini tidak dapat disetarakan dengan NFT lain yang, misalnya, merepresentasikan sepetak sawah kecil di desa. NFT ini bertolak belakang dengan FT atau Fungible Token, yang dapat dipertukarkan seperti layaknya uang tunai, asal memiliki nilai yang sama.

Karakteristik utama dari NFT adalah angka unik yang merepresentasikan aset yang unik pula.

NFT sebenarnya bukan barang baru. Ia muncul ke permukaan karena ditetapkannya standar ERC721 pada tahun 2018 lalu, atau tiga tahun setelah kemunculan ERC20 yang umum dipakai dalam implementasi FT.

Memahami NFT

Kontrak pintar NFT, misalnya diimplementasikan menggunakan library ERC721 milik OpenZeppelin, memiliki beberapa informasi sebagai berikut.

  • Pemilik token dan berapa jumlah token yang dimiliki
  • Nama
  • Simbol
  • Identitas token unik berupa angka atau nomor tertentu (uint256)
  • URI (Uniform Resource Identifier)

Sementara, tiga aktivitas utama yang bisa dilakukan dalam standar ini adalah mint, burn, dan transfer (termasuk juga approve beserta variannya). Mint digunakan untuk membuat token baru di dalam kontrak, sementara burn berguna untuk menghapus token tersebut. Transfer, digunakan untuk memindahtangankan kepemilikan token kepada pihak lain.

Standar ERC721 sebagaimana dibahas di atas rupanya tidak mengandung data apapun yang mendeskripsikan aset yang direpresentasikan oleh token tersebut, selain dari URI. Sementara itu, URI sendiri bisa berupa content addressable yang mengarah ke media penyimpanan terdistribusi seperti IPFS, ataupun berupa tautan biasa yang mengarah ke situs penyimpanan media digital lainnya. Hal ini karena kontrak pintar di mana NFT tersebut berada memang tidak menyimpan aset digital, yang disebabkan oleh berbagai hal, termasuk karena alasan mahalnya biaya penyimpanan di dalam blockchain.

Dengan kata lain, NFT memerlukan sumber daya eksternal untuk mendeskripsikan dengan penuh aset digital tersebut. Hal ini tentu saja berbeda dengan token FT biasa yang tidak memerlukan URI. Kontrak pintar FT ditambah dApp (decentralised app) sudah cukup untuk menjalankan token economy FT. Sementara NFT memerlukan keduanya ditambah media penyimpanan eksternal.

NFT dan Permasalahan Media Digital

Semua orang tahu bahwa media digital seperti gambar, gambar bergerak (film atau klip), dan audio sangat mudah disalin dan dimodifikasi. Maka dengan tingginya permintaan NFT, tidak usah heran bila orang berbondong-bondong membuat NFT dan menjualnya, meskipun tak memiliki hak atas aset digital tersebut. Fraud seperti ini sudah terjadi di Rarible dan menimpa Derek Laufman dan Devin Elle Kurtz, di mana orang mengklaim diri sebagai artis dan menjual gambar digital, sementara artis-artis pemilik hak intelektual atas gambar-gambar yang dijual tersebut tersebut justru tak tahu-menahu soal ini.

Ilustrasi serupa tapi tak sama.

Maka jangan heran kalau nanti muncul duplikat (serupa tapi tak sama), gambar-gambar mirip, ataupun pelanggaran atas hak intelektual milik individu maupun perusahaan yang dipasarkan dalam marketplace NFT seperti Rarible dan OpenSea. Barangkali orang hanya butuh kemampuan Photoshop sederhana untuk melakukan fraud ini.

Organisasi standardisasi internasional seperti JPEG sedang mencari solusi atas fake media, dan rutin mengadakan workshop yang dihadiri pakar-pakar media digital dari seluruh dunia. Namun hingga saat ini solusi tersebut belum terformulasikan dengan baik.

Desentralisasi Mempersulit NFT

Blockchain mengglorifikasi asas desentralisasi. Namun ada kalanya desentralisasi tak banyak membantu. Inilah yang terjadi pada NFT. Setiap orang bisa membuat kontrak pintar NFT. Demikian pula setiap orang juga bisa membuat platform jual-beli NFT. Dengan tiadanya sistem registry aset digital, maka seseorang (yang barangkali tak terlalu terkenal) bisa menjual satu gambar pada banyak platform NFT sekaligus!

Ini artinya, tiada jaminan bahwa NFT yang dibeli merupakan satu-satunya token atas aset digital tersebut! Secara teknologi, tak ada yang bisa menjamin bahwa hanya ada satu NFT untuk satu aset digital. Untuk hal ini, bahkan OpenSea tidak melakukan verifikasi apapun dan menyerahkan sepenuhnya pada pembeli!

Persoalan ini makin mempersulit isu yang menimpa NFT lainnya, di mana aset yang tersimpan dalam media eksternal menghilang secara tiba-tiba, dan pada akhirnya menghilangkan nilai dari token tersebut.

Amy Castor, seperti dikutip dari The Verge, bahkan curiga dengan penjualan NFT tertinggi di dunia sebesar US$69juta dari Beeple kepada Metakovan. Penjualan ini, menurut Amy, bertujuan untuk mendanai pump-and-dump token B.20. Dalam blognya, ia mencium bau tak sedap atas transaksi fantastis ini, dan mencurigai bahwa mungkin transfer dana sebesar itu bahkan tak pernah terjadi!

Kesimpulan NFT, Layak Koleksi atau Tidak?

NFT yang sedang hype ini mungkin memicu orang untuk segera terjun membeli gambar seni digital, yang barangkali berharap untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi. Namun dengan sederet persoalan, baik dari sisi pengelolaan maupun teknologi, bagi saya, platform NFT sebagai pendukung seni digital masih harus membuktikan diri sebagai use-case yang baik dalam pemanfaatan teknologi blockchain.

Biasanya, waktulah yang akan menjawab.

2 thoughts on “Ada Apa Dengan NFT? Pahami Sebelum Membeli”

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.