Enam bulan lalu saat saya menulis pengalaman pertama (dan satu-satunya) mengikuti Initial Coin Offering (atau biasa disingkat ICO), tidak banyak produk yang menggunakan cara demikian untuk mengumpulkan dana awal pengembangan. Saat itu, Cosmos hanya membutuhkan waktu 28 menit untuk mendapatkan dana segar tidak kurang dari US$16juta. Cosmos saat itu merupakan produk baru besutan Tendermint, perusahaan pengembang teknologi blockchain yang berfokus pada interkonektivitas antarblockchain. Tren kesuksesan ICO seperti yang dialami Cosmos kemudian hendak diulangi oleh banyak lagi pelaku usaha lain yang menawarkan ICO, hingga kemudian pemerintah di beberapa negara mulai bertindak dengan melarang pengumpulan dana melalui ICO, di antaranya China, Korea Selatan, dan terakhir Amerika Serikat. The Security and Exchange Commission (SEC) di Amerika Serikat, seperti diberitakan Techcrunch, telah menuntut setidaknya 2 pengusaha dari latar belakang yang berbeda (perdagangan berlian dan real estate) dengan tuduhan penipuan terhadap investor. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Anda dapat memandang ICO sebagai sebuah variasi dari crowdfunding yang populer sejak beberapa tahun silam. Di level dunia, sistem crowdfunding yang terkenal di antaranya GoFundMe dan IndieGoGo, dan sistem serupa yang ada di dalam negeri misalnya KitaBisa. Crowdfunding, seperti dimaknai oleh terjemahan bebasnya pendanaan masyarakat, merupakan sebuah mekanisme di mana siapapun yang memiliki uang dapat memberikan dukungan dana kepada pihak-pihak yang sedang menggarap proyek (yang jenisnya sangat bervariasi mulai dari pembuatan film hingga pembuatan pesawat terbang R80) dan membutuhkan dana untuk menyelesaikan proyek tersebut. Pada umumnya, para pemilik proyek ini setidaknya telah memiliki prototipe atas produk yang sedang mereka kembangkan, atau setidaknya ide dan konsep yang jelas tentang produk akhir. Untuk keperluan crowdfunding ini, mereka membangun sebuah showcase yang dibuat semenarik mungkin agar para pemilik dana mau menaruh uang mereka ke dalam proyek ini. Meski kebanyakan memiliki produk akhir sebagai tujuan proyek mereka, tidak sedikit pula proposal yang diajukan bertujuan untuk aksi-aksi sosial. Saya tidak akan membahas proposal bertujuan sosial, melainkan lebih berfokus pada proyek pengembangan produk. Untuk memberikan stimulus ekstra pada para pendana, mereka umumnya merancang struktur “hadiah” yang akan diberikan kepada donor apabila mereka mau memberikan dananya dalam jumlah tertentu. Semakin banyak dana diberikan, maka hadiah yang akan diterima oleh pendonor pun akan semakin “menggiurkan”. Dari proyek-proyek yang ditawarkan, para pendonor bisa memilih proyek mana yang mereka inginkan sebelum mengucurkan dana yang mereka miliki ke dalam proyek tersebut. Bisa jadi, alasan ekonomi menjadi salah satu faktor mengapa mereka bersedia menjadi pendonor. Produk yang mereka dapatkan dari proyek bisa mereka jual kembali dan mungkin saja mereka bisa mendapatkan profit berlimpah dari hasil penjualan produk-produk tersebut.
Dalam satu dan lain hal, ICO dapat dipandang sebagai salah satu usaha crowdfunding. Para pemilik proyek dalam hal ini tidak perlu susah-payah mengumpulkan dana lewat sistem crowdfunding seperti yang telah dibahas di atas, melainkan cenderung lebih menyukai metode yang ditawarkan oleh Ethereum. Ethereum telah lama dikenal sebagai platform blockchain pertama yang memiliki fitur smart contract yang mendukung logika pemrograman yang kompleks jika dibandingkan dengan pendahulunya. Melalui Ethereum, siapapun bisa membuat token baru yang dapat digunakan sebagai media crowdfunding atau ICO. Token-token yang mereka ciptakan kemudian ditawarkan melalui kampanye pemasaran yang biasanya dilakukan secara besar-besaran, bombastis, dan bahkan melibatkan media mainstream untuk ikut menggaungkan token tersebut. Padahal sebenarnya perlu diketahui bahwa token-token tersebut tidak ada manfaat lebihnya!
Sebagaimana token-token yang dibuat oleh Bancor ataupun OmiseGo yang bernilai ratusan juta dolar AS, mereka pada umumnya hanya tersusun atas tidak lebih dari 1000 baris kode saja dan bisa disalin dengan sangat mudah oleh siapapun yang memiliki pengetahuan dasar soal pemrograman smart contract dalam Ethereum. Para pendonor disodori janji-janji fitur canggih yang akan tersedia manakala sistem mereka beroperasi (dalam beberapa tahun mendatang saat proyek mereka selesai dikerjakan). Pun demikian, token-token ini sudah mulai dapat diperdagangkan di bursa-bursa jual beli koin, dengan mereka yang mengikuti ICO tampak seperti calon miliarder saat harga token pasca ICO melonjak tajam. Pengalaman terdahulu soal suksesnya orang mengikuti ICO tampaknya menginspirasi lebih banyak orang lagi untuk berpartisipasi dalam ICO yang jumlahnya semakin banyak (dan tak terkendali).
Dalam sebuah potensi keuntungan besar tentunya ada risiko yang besar pula. Demikian pula dengan ICO. Proses pengumpulan dana (dari sudut pandang pemilik proyek) ataupun proses investasi (dari sudut pandang pemilik dana) tidak lepas dari risiko. Pada umumnya pembuat ICO tidak hanya memiliki token untuk dijual, melainkan juga melengkapinya dengan berbagai whitepaper dan pelengkap lainnya, termasuk dokumen penjelasan risiko yang mungkin terjadi bahwa proyek tersebut tidak pernah mencapai tujuan semula dan dana tak dapat kembali kepada pendonor. Pada kenyataannya bahwa token tersebut tidak memiliki nilai apapun, sangat mudah direplikasi, dan bahwa ICO bisa mendatangkan banyak uang, benar-benar mengganggu saya. Para pemilik token tersebut tidak memiliki hak apapun terhadap proyek yang sedang berlangsung, dan sebagaimana artikel Techcrunch yang saya kutip di awal tulisan ini, mereka mungkin tidak tahu apa yang sedang mereka buat.
ICO memang sangat menggiurkan, terutama dengan nama-nama besar yang tercantum dalam situs pembuat ICO dan perusahaan pendukung ICO, namun patut disadari bahwa risiko sepenuhnya berada di tangan Anda saat Anda memutuskan untuk membeli token tersebut. Saat ini belum ada regulasi terkait ICO dan dengan demikian pemerintah maupun pihak lain tidak dapat membantu seandainya hal-hal buruk terjadi.
3 thoughts on “Memahami ICO, Memahami Risiko”