Cryptocurrency atau blockchain amat erat kaitannya dengan desentralisasi. Bahkan mungkin satu-satunya alasan menggunakan blockchain ketimbang sistem basis data tradisional adalah kemampuan desentralisasi yang dimilikinya. Blockchain memang memiliki fitur konsensus untuk menentukan keabsahan sebuah informasi sebelum dianggap sebagai “sumber kebenaran” (source of truth). Semenjak pertama kali diimplementasikan dalam sistem Bitcoin, blockchain memang tidak mengenal otoritas tunggal dalam mengatur sistem dan memastikan tidak ada kecurangan di dalam prosesnya.
Sebagai konsekuensi dari desentralisasi ini, maka konsensus di antara para penggunanya menjadi satu-satunya cara untuk menentukan benar dan salahnya sebuah informasi. Tentu, premis dari sistem konsensus ini menyatakan bahwa setidaknya lebih dari separuh (atau lebih tepatnya 51% dari peserta konsensus) bertindak jujur dan tidak curang.
Satoshi Nakamoto yang menitiskan ide bitcoin tentu saja meletakkan pondasi konsensus publik salah satu yang paling terkenal di dunia, yakni proof-of-work (PoW). Dengan menggunakan sistem konsensus yang kemudian dikenal dengan istilah Nakamoto Consensus ini, maka sistem akan selalu memilih jalur blok dengan jumlah komputasi terbesar andaikata terjadi pencabangan dalam blockchain. Konsep PoW milik Nakamoto ini juga dikenal sebagai One CPU One Vote.
Namun, rupanya Nakamoto menyepelekan kecerdasan (dan ketamakan) manusia.
Lahirnya mesin-mesin ASIC (Application-Specific Integrated Circuit) mengacaukan Nakamoto Consensus yang tidak pernah pulih hingga saat ini. Seluruh metode PoW dari yang paling awal menggunakan double SHA-256 hingga yang paling baru sekalipun amat kesulitan menghindari kejaran manufaktur ASIC yang berkehendak menciptakan ASIC untuk semua metode konsensus PoW yang ada di muka bumi, hingga mereka bisa menguasai, mengeruk keuntungan, dan menjual mesin-mesin ASIC yang mereka produksi kepada siapapun yang mau membeli untuk mendapatkan profit yang lebih tinggi lagi.
Memang, ASIC membuat sebuah sistem blockchain publik yang diimplementasikan oleh mata uang kripto menjadi lebih tahan terhadap serangan siber. Artinya, para penyerang juga harus membayar ongkos lebih tinggi untuk mencoba menguasai sistem melalui “konsensus para mesin”. Namun di sisi lain, ASIC juga membuat persaingan dalam konsensus menjadi timpang.
Konsensus yang diterapkan dalam sistem blockchain sejatinya amat diharap dapat mendemokratisasi sistem keuangan, di mana tidak ada tangan otoriter yang bertindak sesuka hati dengan meletakkan kebijakan sesuka hati. Maka, dalam sebuah konsensus diharap seluruh pihak memiliki kekuatan setara dan saling bertentangan. ASIC hadir untuk memberikan keuntungan bagi siapapun yang memiliki banyak duit dan mendapatkan lebih banyak duit. Maka runtuhlah impian Nakamoto.
Sementara itu, fakta menyatakan bahwa sistem desentralisasi tidak pernah benar-benar terwujud. Padahal, banyak uang dan energi telah dilimpahkan kepada sistem desentralisasi ini bahkan sampai mengorbankan salah satu komponen penting sebuah sistem: kapasitas. Desentralisasi juga membuat kompleksitas sebuah sistem menjadi lebih tinggi ketimbang sistem serupa dengan sentralisasi.
Dengan keterbatasan desentralisasi (atau lebih tepatnya keterbatasan manusia untuk mendesain sistem desentralisasi yang lebih baik), maka tren saat ini mengarah ke resentralisasi demi mengembalikan performa yang amat buruk di sistem blockchain mula-mula seperti yang diterapkan dalam bitcoin. Resentralisasi ini diwujudkan dalam bentuk pengurangan jumlah peserta konsensus hingga penghilangan sama sekali kesempatan pihak luar untuk ikut serta dalam konsensus. Maka fungsi resentralisasi di sini sebagai sebuah bentuk kompromi antara trust (menurun) dan capacity (meningkat) yang juga berdampak pada turunnya cost dalam triple constraint yang pernah saya tulis beberapa waktu yang lampau.
Resentralisasi, dalam hal ini, adalah obat kuat bagi desentralisasi yang tidak lagi seperti yang diharapkan.
Resentralisasi memang tidak serta-merta menghilangkan komponen desentralisasi, namun tidak juga menghilangkan konstrain yang menyebabkan siapapun dapat bergabung dalam konsensus. Resentralisasi dalam ranah mata uang kripto artinya memasarkan konsep sentralisasi dalam lingkup desentralisasi. Resentralisasi ini memiliki wujud di antaranya delegated proof-of-stake (DPoS), segala jenis byzantine fault tolerant (PBFT misalnya), masternode, dan beberapa lainnya. Metode resentralisasi ini tampak seperti desentralisasi terbatas, namun pada kenyataannya siapa yang dapat menjamin bahwa peserta konsensus tidak dikendalikan oleh satu pihak, misalnya pengembang mata uang kripto?
Resentralisasi bukan berarti buruk, karena memang desentralisasi telah menunjukkan tanda-tanda kegagalan (atau setidaknya amat terbatas untuk dikembangkan lebih jauh lagi). Namun barangkali tren resentralisasi ini menunjukkan bahwa sistem yang tersentralisasi tidak jelek-jelek amat.
Maka, bukankah hidup lebih mudah dengan menggunakan uang fiat?
Sumber gambar: news.8btc.com
3 thoughts on “Resentralisasi: Obat Kuat Problem Desentralisasi”