. . .

Respon atas “Wacana Klasik Tentang Potensi Resentralisasi Bitcoin”

Artikel ini merupakan respon atas tulisan BitcoinMedia yang dipublikasikan melalui Medium, berjudul Wacana Klasik Tentang Potensi Resentralisasi Bitcoin. BitcoinMedia menganggap resentralisasi sebuah wacana klasik. Faktanya, resentralisasi adalah tren kontemporer dalam teknologi blockchain. Resentralisasi tak hanya menerpa produk aset kripto terbaru, melainkan juga produk-produk kawakan seperti bitcoin.

Artikel ini memiliki kaitan dengan artikel-artikel berikut:
Resentralisasi: Obat Kuat Problem Desentralisasi (bahasa Indonesia)
Bitcoin Centralisation is Imminent (bahasa Inggris)

Artikel milik BitcoinMedia, sayangnya, ditulis dengan tendensius. Beberapa kalimat dalam artikel tersebut juga tidak mudah dipahami karena berbelit-belit tanpa makna. Ditambah lagi, artikel nyeleneh ini menuduh saya tidak mampu memahami mendalam konsensus bitcoin.

Saya tidak mampu memahami mendalam konsensus bitcoin? Konsensus bitcoin jauh lebih mudah dipahami dibandingkan model konsensus lain, misalnya Byzantine Fault Tolerant (BFT) dan variannya. Nakamoto Consensus hanya punya satu aturan: cabang rantai terpanjanglah yang menang.

Tak hanya memahami konsensus bitcoin, saya juga sangat paham bahasa pemrograman bitcoin, yang saya tulis lengkap dalam buku “Bitcoin Tingkat Lanjut” yang kini dapat diunduh gratis. Buku ini juga yang pertama di dunia yang mengulas pemrograman bitcoin beserta berbagai kode operasi/operation code (opcode) bitcoin yang penting. Bahkan dokumentasi resmi bitcoin tak selengkap itu!

BitcoinMedia menihilkan capaian akademik saya. Padahal, latar belakang akademik yang saya miliki sangat menunjang saya dalam melakukan analisis apapun terkait blockchain. Selain, tentu saja, mengasah kemampuan saya dalam menyampaikan ide dalam tulisan.

Ada enam pendapat yang disanggah dalam artikel ini.

Konsensus bitcoin harus ditunjang setidaknya 51% peserta (node) jujur

Barangkali kalimat ini disalahartikan dengan 51% attack. Node tidak sama dengan kekuatan penambangan. Node adalah komputer atau server yang mengelola informasi blockchain, yang tentu saja membuat node memegang peranan penting.

Node yang jujur sangat diperlukan, karena tiap dompet (wallet) bitcoin terhubung denga sebuah node. Dompet yang terhubung dengan node dapat mengirim atau menerima bitcoin, serta menghitung berapa sisa koin yang dimiliki.

Bila terdapat banyak node yang tidak jujur dalam jaringan bitcoin, maka sangat mungkin node-node lain akan menerima informasi yang salah, misalnya double-spending ataupun block reorganisation. Dua jargon ini tak akan saya jelaskan lebih lanjut di sini karena berada di luar konteks.

Sebuah tipe serangan yang menyasar node di antaranya eclipse attack. Eclipse attack mengelilingi node target dengan node-node jahat yang mendistribusikan data yang salah, sehingga node target teracuni dengan data yang salah pula.

BitcoinMedia menyampaikan bahwa protokol Stratum mendukung miner untuk “saling berpindah dari satu pool ke pool lain untuk menghindari adanya lompatan konsentrasi distribusi hashrate di dalam jaringan”. Entah apa arti kalimat ini.

Yang jelas, Stratum tidak dapat berbuat apapun sebagaimana yang ditulis BitcoinMedia. Protokol Stratum merupakan standardisasi komunikasi antara penambang (miner) dan pengelola mining pool, dalam hal pertukaran informasi. Itu saja. Stratum tak dapat mencegah penguasaan kekuatan komputasi oleh satu atau dua pihak. Hanya mining pool sajalah yang dapat mencegah akumulasi kekuatan komputasi miliknya jadi terlalu tinggi.

Konsensus bitcoin akan selalu memilih jalur block dengan jumlah komputasi terbesar

BitcoinMedia menyanggah pendapat di atas. Menurut mereka, node akan meneruskan rantai blok terpanjang, bukan komputasi terbesar.

Padahal, bagi saya, keduanya merujuk pada hal yang sama.

Rantai blok terpanjang punya akumulasi komputasi terbesar. Demikian juga berlaku sebaliknya. Rantai dengan akumulasi komputasi terbesar akan punya rantai blok terpanjang, dalam hal terjadi pencabangan dalam blockchain milik bitcoin.

ASIC mengacaukan konsensus bitcoin

Sanggahan BitcoinMedia, sayangnya, amat samar. Mereka mendukung “evolusi” perkembangan teknologi tanpa memperhitungkan dampaknya pada konsensus bitcoin ataupun lingkungan.

BitcoinMedia memperhitungkan perkembangan ASIC sebagai perlawanan terhadap pelaku industri kartu grafis besar. Faktanya, pengguna ASIC bergantung pada produk buatan kartel ASIC seperti Bitmain. Sementara pengguna kartu grafis masih memiliki cukup banyak opsi di pasaran.

DPoS dianggap lebih baik

Lucunya, kalimat ini diculik di luar konteks. Berikut adalah kalimat aslinya.

Metode resentralisasi (seperti DPoS) ini tampak seperti desentralisasi terbatas, namun pada kenyataannya siapa yang dapat menjamin bahwa peserta konsensus tidak dikendalikan oleh satu pihak.

Kriptologi.com

DPoS dapat mengatasi persoalan inefisiensi PoS dan PoW. Namun tentu saja, tak ada solusi sempurna atas masalah konsensus, yang telah coba dipecahkan sejak puluhan tahun lalu.

Pembaca yang tertarik dapat menilik lebih lanjut tentang “blockchain trilemma“, yakni desentralisasi, skalabilitas, dan keamanan. Dalam blockchain trilemma, hanya ada dua dari tiga fitur yang dapat dipenuhi sistem blockchain manapun. Topik ini juga pernah saya bahas dengan titel “blockchain triple constraint“.

DPoS adalah salah satu di antara beberapa opsi untuk meningkatkan skalabilitas dengan mengorbankan desentralisasi.

Pengembang bitcoin didanai perusahaan

BitcoinMedia menantang argumen ini. Mereka memasang BIP (Bitcoin Improvement Proposal) dalam sanggahan mereka. BIP memang bisa ditulis siapapun. Namun, pada kenyataannya, siapa yang mau menulis, dan untuk kepentingan apa?

Menulis proposal teknis tidak semudah menulis blog. BIP dirancang serupa RFC (Request For Comment) yang memiliki bahasa baku dan detil. Tanpa pengetahuan yang cukup yang didukung dengan waktu dan tenaga yang memadai, tak akan ada BIP.

Hal ini berlaku pula dalam pengembangan kode sumber bitcoin. Siapapun boleh berkontribusi. Tapi, kalau tidak ada tujuannya, untuk apa? Altruisme?

Oh iya, Wladimir van der Laan didanai MIT DCI loh!

Penurunan hashrate sebagai indikator sentralisasi

Yang ini salah dipahami. Tulisan asli The Coin Republic menyebut bahwa pengembang kecil gulung tikar karena harga bitcoin yang rontok sambil menjual bitcoin milik mereka.

BitcoinMedia menyanggah pendapat ini dengan menyampaikan data historis naik-turunnya hashrate bitcoin di masa lampau.

Faktanya, jumlah hashrate sebesar ini bisa jadi disuplai oleh penambang besar saja. Model ekonomi penambang besar dan kecil tentu saja berbeda. Penambang besar bisa saja selalu menambah kapasitas melalui reinvestasi profit. Namun, hal ini sulit dilakukan penambang kecil.

Singkat kata, tak ada relevansi antara jumlah hashrate dengan jumlah penambang, seperti yang disampaikan BitcoinMedia.

Hidup lebih mudah dengan menggunakan uang fiat

Kecuali mereka mampu membeli nasi goreng dengan bitcoin, maka pendapat ini masih benar adanya, terlepas dari berapa jumlah uang baru yang dicetak karena pandemi Covid-19.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.