When we think we know it all, we think again.
Frase di atas merupakan golden quote yang saya temukan di papan informasi besar di depan kompleks universitas Monash beberapa tahun yang lalu. Frase tersebut juga sangat klik dengan semboyan universitas tersebut: Ancora Imparo, yang artinya “saya terus belajar”. Dunia memang tidak menawarkan angka-angka eksak yang harus diikuti setiap makhluk, sementara formulasi yang ada pun bisa sewaktu-waktu berubah saat penemuan baru memberikan pemahaman yang lebih baik dibandingkan informasi yang telah ada.
Demikian pula semestinya dengan pemahaman saya terhadap mata uang kripto. Dahulu saya dengan mudahnya memberikan garis batas pemisah antara mata uang kripto yang “valid” dengan mata uang kripto yang “tidak valid”. Kedua jenis mata uang kripto tersebut pada dasarnya tidak memiliki pembeda yang jelas antara satu dan yang lainnya, sebab hingga saat ini memang belum ada standar baku yang menjadi patokan untuk menilai sebuah mata uang kripto. Pandangan saya mulai berubah karena industri mata uang kripto sangat kaya variasi, dan sebuah penanda belum tentu valid diterapkan di seluruh produk mata uang kripto yang ada saat ini.
Hal ini menjadi krusial saat organisasi terpercaya seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Republik Indonesia mulai memasukkan berjenis-jenis mata uang kripto ke dalam daftar hitam “investasi bodong“. Dari 57 entitas yang ada di dalam daftar, setidaknya 6 di antaranya merupakan mata uang kripto (jika dilihat dari namanya), yakni Aladin Coin, Hero Token, Hextra Coin, Matadors Coin, Near Plus Coin, dan Zapphire Coin. Yang saya herankan, Bitcoin tidak termasuk dalam daftar hitam kali ini (atau daftar hitam sebelumnya yang memasukkan One Coin dan GNR Coin). Mengapa saya mempertanyakan hal ini?
Tentu saja berkaitan dengan pokok bahasan sebelumnya, di mana batasan-batasan mata uang kripto valid dan tidak valid tidak jelas, namun ternyata OJK memiliki kriteria yang lebih canggih dibandingkan paper ilmiah manapun yang pernah saya baca. Sayangnya proses bisnis OJK dalam menentukan daftar mata uang kripto bodong tidak pernah dirilis, padahal akan menjadi patokan yang bermanfaat bagi masyarakat. Indikasi yang digunakan oleh OJK di antaranya adalah:
karena dinilai berpotensi merugikan masyarakat karena menawarkan imbal hasil atau keuntungan yang tidak masuk akal
Padahal Bitcoin sendiri telah dinobatkan sebagai aset paling menguntungkan sepanjang tahun 2017 dengan kenaikan harga setidaknya 900%. Dalam waktu 8 tahun, harga bitcoin meningkat dari US$0.003 menjadi US$13,800 di akhir tahun 2017, yang tentu saja merupakan kenaikan jauh di atas 10 ribu persen dari harga awal. Jika kriteria yang diajukan oleh OJK untuk menentukan jenis investasi bodong adalah imbal hasil yang tidak masuk akal, tentu bitcoin harusnya berada di urutan pertama daftar tersebut!
Apabila Matadorscoin dinilai menawarkan keuntungan yang tidak masuk akal, misalnya karena program lending yang mereka miliki, cobalah bandingkan dengan mekanisme Proof of Stake (PoS) yang amat mirip dengan lending. PoS akan menghasilkan “bunga” untuk setiap koin yang “dipertaruhkan”, layaknya menabung di bank, dan sayangnya program lending amat serupa dengan PoS di permukaan (dan sangat berbeda di dalam teknis penerapannya – namun, siapa peduli?)
Artikel ini ditulis tentunya tidak untuk membela koin-koin yang telanjur masuk dalam daftar hitam (dan semestinya masih banyak lagi koin-koin tidak jelas yang masuk daftar hitam milik OJK, misalnya dengan berpatokan pada situs deadcoins). Hanya saja, saat ini rilis OJK tidak banyak memberikan edukasi kepada masyarakat jika OJK tidak pernah memberikan panduan Do It Yourself (DIY) sebagaimana Bank Indonesia saat mensosialisasikan cara membedakan uang asli dan uang palsu (dilihat, diraba, diterawang-nya yang super populer itu).
Apresiasi mesti ditujukan kepada OJK dan Satgas Waspada Investasi. Hanya saja, masyarakat semestinya berharap lebih kepada para elit yang bekerja di organisasi tersebut, untuk tidak saja membantu masyarakat memilah-milah instrumen investasi yang baik dan buruk, tetapi juga memberikan edukasi yang baik dan benar, dengan parameter yang terukur, terpercaya, dan beralasan.
If you think education is expensive — try ignorance (Ann Landers)