Dengan kesuksesan ICO (Initial Coin Offering atau penawaran koin perdana) di masa lalu dan harga mata uang kripto yang makin melambung, banyak orang berbondong-bondong membuat ICO. Namun barangkali ada hal-hal yang perlu diluruskan soal ICO ini.
Jika Anda pernah memberikan dana melalui platform crowdfunding seperti Kickstarter, maka Anda memahami bahwa proyek yang Anda danai tersebut belum memiliki produk yang dijanjikan. Saat mereka memasukkan proyek mereka ke dalam Kickstarter, mereka telah memiliki ide, proposal, dan bahkan purwarupa produk yang akan mereka buat, namun mengalami keterbatasan pendanaan. Keterbatasan dana tersebut yang coba diatasi oleh platform crowdfunding dengan menghimpun dana dari masyarakat yang terdiri atas siapapun yang memiliki dana dan ingin menyalurkan dana tersebut ke manapun mereka inginkan.
Salah satu ciri penting dari proyek-proyek dalam Kickstarter adalah reward yang diperoleh para pemberi dana. Beberapa paket pendanaan akan ditawarkan oleh si pemilik proyek, mulai dari paket yang paling murah sampai dengan paket yang paling mahal. Sebagai bentuk reward, paket paling murah biasanya hanya akan mendapatkan stiker atau merchandise murah lainnya, sementara paket termahal akan mendapatkan produk eksklusif dalam jumlah tertentu.
Motivasi si pemberi dana bermacam-macam. Ada yang memang altruistic, karena memandang bahwa produknya akan memberi nilai tambah bagi dunia, namun tidak sedikit pula yang mencoba peruntungan dengan menjadi early adopter produk tersebut dan mendapatkan keuntungan dari selisih antara harga beli dengan harga jual. Jenis yang kedua ini akan banyak ditemui pada berbagai proyek ICO.
Di atas telah disajikan studi kasus tentang crowdfunding. Tidak berbeda dengan Kickstarter, ICO juga merupakan crowdfunding yang khusus terjadi di dunia mata uang kripto. Crowdfunding tersebut dilakukan untuk mendanai proyek yang akan atau sedang berjalan, misalnya untuk menyewa beberapa programmer dalam implementasi protokol yang telah selesai didesain, atau bahkan menyewa tim kriptografer untuk mendesain metode kriptografi yang sama sekali baru.
Dalam perkembangan terbaru metode ICO, para pemberi dana akan diberikan token temporer yang nantinya dapat ditukar dengan koin baru yang berjalan dalam platform sebagaimana yang dijanjikan pada awal peluncuran ICO. Platform smart contract seperti Ethereum atau Waves menjadi pilihan, karena token-token tersebut dapat diperjualbelikan di pasar koin bahkan sebelum platform utama jadi. Dalam hal ini, token tersebut dapat dianggap serupa seperti produk “futures” yang memperdagangkan nilai di masa mendatang dengan harga hari ini. Contoh-contoh token sebagai produk futures di antaranya OmiseGo dan Bancor.
Meskipun mungkin para pemberi dana ICO sudah puas dengan produk “futures” yang mereka terima berupa token, semestinya mereka tidak berhenti sampai di situ. Salah kaprah para pemilik token adalah mereka mengira bahwa produk akhirnya adalah token yang mereka miliki tersebut (meskipun ada beberapa token seperti Augur yang tokennya adalah produk akhir, tetapi kebanyakan tidak demikian). Keuntungan atas selisih harga dalam perdagangan spot atas token tersebut bukan berarti bahwa produk akhir akan bernilai setara dengan nilai token yang diperdagangkan. Karena tentu saja, siapapun yang memiliki akses terhadap kode sumber token dapat dengan mudah membuat token versi mereka sendiri dengan fungsionalitas yang sama persis dengan token aslinya. Jadi, jika memang token tersebut merupakan produk akhir, lalu kenapa repot-repot membeli token yang harganya mahal? Cukup dibuat sendiri!
Para pemilik proyek yang mengadakan ICO juga patut mawas diri, sebab dengan banyaknya dana yang mereka himpun dari masyarakat, artinya tanggungjawab besar pula terhadap kesuksesan proyek yang mereka rencanakan. Sejatinya banyak sekali ICO yang gagal (sayangnya tidak mendapatkan ekspos pemberitaan yang cukup baik), dan oleh karena itu ICO mulai diregulasi (atau dilarang sama sekali) di banyak negara di dunia, di antaranya China. Risiko yang harus ditanggung oleh pemberi dana ICO sangatlah besar, karena tidak ada kewajiban mengikat bagi pemilik proyek untuk menyelesaikan proyek sebagaimana tertera pada situs ICO maupun pada dokumen-dokumen yang menyertai saat proses ICO dilakukan. Due diligence biasanya tidak dilakukan dengan baik, padahal proyek tersebut bisa jadi bernilai puluhan bahkan ratusan juta dolar.
Regulasi ICO dimaksudkan untuk melindungi para pemberi dana agar tidak kehilangan uang sia-sia dan untuk memastikan bahwa pemilik proyek menyelesaikan proyek yang dijanjikan. Dalam hal ini, regulasi ketat diperlukan tidak untuk mematikan ekosistem yang mulai terbentuk, melainkan justru untuk melindungi agar ekosistem tersebut dapat terus eksis di masa mendatang sebari mematuhi regulasi lokal yang telah terlebih dahulu ada.
Bagaimana dengan di Indonesia? Saya masih meyakini bahwa regulasi harus segera diterapkan terkait dengan ICO, entah dengan cara pelarangan sama sekali ataupun regulasi secara ketat. Tanpa adanya regulasi, maka potensi besar orang kehilangan uang, yang pada akhirnya bisa jadi akan merepotkan banyak pihak.
Sebagai kesimpulan, proyek ICO tidak berhenti saat token (temporer) dibagikan dan masuk ke dalam beberapa pasar koin yang bisa diperdagangkan. Pemilik token mesti menuntut produk akhir, sementara pembuat proyek harus mulai bekerja untuk mewujudkan janjinya. Barangkali diperlukan pihak ketiga untuk memastikan semuanya berjalan dengan lancar.
Bagaimana menurut Anda?
Setuju sama regulasi, soalnya di sini orang2 cenderung oportunis dengan pengetahuan yang minim.