. . .

Sudah cukup lama saya mengamati Solana. Sudah cukup lama pula saya berniat mengkoleksi Solana, meski tak kesampaian karena belum ada exchange lokal yang menjual. Tak lama dengar kabar, tiba-tiba harga Solana sudah setinggi langit.

Saya sendiri cukup kaget mengapa Solana seperti tahan terhadap gelombang naik-turun aset kripto yang terjadi beberapa kali belakangan ini. Termasuk yang terakhir, saat harga Bitcoin dkk terjerembab hingga 10 persen.

Ah ternyata baru saya lihat hari ini Solana jatuh lebih dari 10 persen!

Tapi ini tidak menghilangkan fakta bahwa harga Solana melonjak tiga ratus persen hanya dalam waktu sebulan saja, seperti tampak dalam grafik di bawah.

Solana bisa dikategorikan sebagai blockchain dengan kapasitas besar. Ia bisa disebut sebagai infrastruktur blockchain layer pertama (L1) seperti halnya Bitcoin dan Ethereum. Solana diklaim mampu memproses hingga 65.000 transaksi per detik (TPS), dengan produksi blok satu tiap 400 milidetik (md). Kinerja ini tentu saja jauh melampaui Bitcoin yang hanya 7 TPS ataupun Ethereum dengan 15 TPS.

Solana

Untuk menunjang kinerja ekstra besarnya, Solana menggunakan gabungan beberapa teknik. Sebagaimana tertulis dalam whitepaper Solana, Proof of Stake (PoS) ditunjang oleh dua metode baru bernama Proof of History (PoH) dan Proof of Replication (PoRep). Gabungan PoH dan PoRep diklaim dapat meningkatkan keamanan blockchain Solana dari pemalsuan data. Kapasitas teoretis yang mampu ditangani Solana jauh di atas angka yang disebut di atas, yakni 710.000 TPS!

Solana menggunakan model konsensus Byzantine Fault Tolerant (BFT) dengan sebuah pemimpin (leader) tunggal yang disebut dengan PoH Generator. Pemimpin inilah yang berhak membuat blok baru, seperti halnya seorang miner dalam model konsensus PoW. Pemimpin tersebut akan mengumpulkan transaksi dari para pengguna, mengurutkannya, dan mendistribusikan state terbaru (kondisi data blockchain terkini) kepada tiap validator.

Nah, masing-masing validator yang setuju akan mengirimkan persetujuannya kepada sang pemimpin sebagai bagian dari proses voting untuk memastikan bahwa state tersebut telah disetujui oleh semua pihak yang terlibat. Proses voting ini menggunakan metode Proof of Stake (PoS) yang akan menentukan apakah state yang dibuat oleh PoH Generator tadi sah atau tidak. Setiap validator juga harus mengirimkan respons atas data terbaru kepada PoH Generator dalam waktu singkat, misalnya 500 md.

PoH Generator dapat dipilih di antara validator dengan syarat PoH generator yang lama berhenti beroperasi, serta PoH Generator yang baru memiliki voting power paling besar. Dengan kata lain, PoH Generator yang terpilih memiliki stake paling besar di antara validator lainnya.

PoH sendiri bekerja seperti hash chain, yakni fungsi hash yang dikenakan pada sebuah nilai acak secara berkali-kali (misalnya 100 atau bahkan 10.000 kali). Sistem Solana akan menerbitkan nilaih hash chain secara periodik, misalnya setiap 300 hash.

Data baru dapat ditambahkan dalam proses PoH untuk menghasilkan hash baru. Selain mengamankan data baru tersebut, proses ini juga mengamankan data lama. PoH juga menjamin urutan historis data-data yang tersimpan.

Sebagai contoh, dalam tabel di atas dapat dikatakan bahwa phtograph1 muncul sebelum photograph2.

Yang unik adalah, PoH ini hanya dapat dihitung secara serial (berurutan), sementara verifikasinya bisa dilakukan secara paralel sehingga mempercepat proses.

Kebutuhan Validator

Solana yang berkapasitas tinggi ternyata mengorbankan desentralisasi untuk mencapai skalabilitas dan keamanan. Terlihat dari karakter sentralistik yang ada pada diri PoH Generator sebagai satu-satunya leader dalam satu waktu, di mana PoH Generator ini merupakan validator yang punya staking power terbesar dan satu-satunya yang berhak menjalankan PoH.

Kemudian, kebutuhan komputasi untuk menjalankan sebuah validator di Solana juga tak sembarangan. Rekomendasi perangkat kerasnya, sesuai dengan dokumentasi resmi, di antaranya adalah:

  • CPU 2,8 GHz dengan minimum 12 core (24 threads), misalnya AMD Threadripper Zen3
  • RAM 128GB (dengan motherboard yang mampu mendukung 256GB RAM).
  • Minimum 1TB SSD (untuk ledger) ditambah 500GB (untuk account) dengan TBW (Total Bytes Written) tinggi (artinya akan sering ditulisi sehingga cepat aus)
  • GPU (tidak spesifik)

Kebutuhan perangkat keras untuk RPC node lebih tinggi lagi, yakni 16 core CPU dan 256 RAM. Kemudian, bila Anda ingat lagi, validator harus mampu merespons voting dalam waktu singkat (misalnya 500 md). Tentu saja diperlukan koneksi Internet ekstra kencang untuk melakukan hal ini.

Dengan kebutuhan perangkat keras setinggi itu, otomatis tak semua orang bisa menjadi validator!

Masalah Solana: Biaya dan Konsensus yang Tak Efisien

Akun Twitter CryptoSeq juga turut membahas beberapa masalah lain dari Solana, yakni:

  • Sebuah validator perlu mengeluarkan dana hingga USD50ribu pertahun untuk membayar ongkos transaksi. Hal ini disebabkan karena sistem konsensus Solana terjadi secara on-chain. Hal ini diamini juga oleh dokumentasi resmi Solana yang menyatakan bahwa sebuah validator mungkin akan menghabiskan hingga 1,1 SOL perhari, ditambah biaya sewa akun voting sebesar 0,02685864 SOL.
  • Untuk mencapai titik impas, diperkirakan sebuah validator perlu modal sebesar USD700ribu. Atau, validator tersebut perlu mengumpulkan stake dari banyak sekali orang dengan komisi rendah. Bila opsi ini ditempuh, validator tersebut mungkin tak akan pernah balik modal.
  • Sebuah validator bisa saja meminta bantuan grant dari Solana Foundation untuk menjalankan operasi. Tapi ini berarti bahwa Solana Foundation menguasai sejumlah besar SOL!
  • Dikatakan bahwa archival node membutuhkan ruang harddisk sangat besar. Data sebesar 18TB masih tersimpan di cloud dan tak dapat diakses oleh siapapun karena mahalnya ongkos bandwidth.
  • Finality dicapai dalam waktu lima hingga 12 detik, dan bukan setengah detik.

Emin Gun Sirer, periset ternama dari Cornell University, juga menyoroti Solana. Menurutnya, kapasitas blockchain Solana saat ini banyak teralokasi untuk menjalankan konsensus, dan tidak dipakai untuk melayani transaksi nyata (oleh pengguna).

Solana dianggap menyimpan potensi besar untuk menyaingi Ethereum dalam menyediakan infrastruktur L1. Solana yang mengusung bahasa pemrograman Rust dan C untuk pengembangan smart contract juga diperkirakan mampu mendapatkan dukungan dari banyak pengembang.

(Meski, yah, Rust itu bahasa yang tak mudah dipelajari)

Tapi dengan masalah-masalah yang dimiliki oleh Solana, perlu waktu lebih lama untuk melihat apakah platform baru ini bisa sesukses Ethereum atau Binance Smart Chain (versi KW dari Ethereum).

One thought on “Fakta Di Balik Manisnya Harga Solana”

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.