Lebi dari sedekade sejak Bitcoin diperkenalkan ke dunia. Satoshi jadi nama yang berada di titik pusat pembicaraan ketika kita membahas Bitcoin. Mulai dari siapa identitas asli Satoshi Nakamoto, mengapa ia membuat Bitcoin, atau pula mengapa ia menghilang dari keramaian sejak mengestafetkan tongkat kepemimpinan pengembangan aset kripto tertua di dunia, Bitcoin, kepada Gavin Andresen.
Sejak itu pula kita mengenal berbagai tokoh di industri aset kripto yang menonjol. Karena kontribusinya, karena kontroversinya, kesuksesannya, atau perilaku antiknya. Saya menyorot ada dua tokoh lain, selain Satoshi, yang ikut membentuk ekosistem aset kripto, seperti yang kita kenal sekarang ini. Dua tokoh ini adalah Vitalik Buterin dan Elon Musk. Sebelum membahas dua tokoh ini, kita akan melihat bagaimana visi Satoshi di masa awal Bitcoin.
Satoshi Nakamoto
Banyak spekulasi seputar karakter ini. Nama-nama beken seperti Szabo dan Finney pernah digadang-gadang sebagai Satoshi yang sebenarnya, walau tak pernah terbukti. Meski, belakangan ini kita lebih sering mendengar Craig Wright yang mengaku dirinya sebagai Satoshi, sibuk membuat kegaduhan dengan klaim secara hukum di sana-sini. Craig adalah anomali dalam industri aset kripto yang biasanya bersemangat keterbukaan yang seluas-luasnya, serta produk-produk yang dihasilkan akan dirilis sebagai public goods atau barang milik umum yang bebas dipakai siapa saja.
Masa-masa awal Bitcoin adalah masa yang terberat. Saat itu orang-orang ramai menunjukkan penolakan keras terhadap Bitcoin. Wajar saja, Bitcoin saat itu memang masih menjadi barang misterius. Terbatas penggunaannya dan tak banyak dokumentasi tentangnya. Anda bisa membaca kisah perjuangan saya menggunakan Bitcoin dalam artikel ini.
Meski sulit, tak dapat dipungkiri bahwa di era inilah banyak pengusaha dan jutawan baru muncul karena semata-mata menjadi early adopter produk yang dulunya tak dikenal banyak orang. Era inilah yang masih menjadi inspirasi banyak orang, yang ramai-ramai membeli aset kripto yang baru diluncurkan, semata-mata karena tak ingin ketinggalan mendapatkan banyak untung.
Pada kenyataannya, seperti yang kita tahu, tak selalu demikian.
Pasca Bitcoin, tentu saja, ada banyak aset kripto baru yang muncul. Litecoin, Dogecoin, dan hampir semua nama yang punya akhiran *coin, merupakan produk yang menyalin Bitcoin, dengan ekspektasi besar mendapatkan profit layaknya Bitcoin. Inovasi besar yang terjadi di era ini berpusat pada penyelesaian masalah-masalah penambangan, pemborosan energi, teknik skalabilitas, dan model-model keamanan baru yang berhasil ditemukan oleh para peneliti.
Produk-produk di era ini telah dianggap ketinggalan zaman karena penggunaannya yang terbatas. Paling-paling hanya satu-dua nama saja yang masih sering kita dengar sampai sekarang.
Vitalik Buterin
Saya pertama kali membaca nama Vitalik dalam artikel-artikel yang ia tulis untuk Bitcoinmagazine. Situs ini saya anggap salah satu situs tertua, bahkan sebelum Cointelegraph atau situs serupa seterkenal sekarang. Vitalik, sebelum menggagas Ethereum, adalah salah satu pegiat aset kripto yang berkontribusi lewat tulisan-tulisannya. Barulah ketika mulai menyusun ide tentang teknologi blockchain dengan komposisi fitur pemrograman yang lebih luas, ia dikenal sebagai prodigy. Tak pernah muncul dalam pikiran saya bahwa ia akan jadi sebesar sekarang. Tulisan dan ide-idenya masih menjadi sumber dan ilham banyak orang, terutama dalam pengembangan teknologi blockchain menuju desentralisasi dan skalabilitas yang lebih besar.
Ethereum bisa dikatakan menjadi katalis utama mengapa industri cryptocurrency jadi sepesat sekarang. Karena Bitcoin sendiri, sebelum lahirnya Ethereum, sudah hampir habis dieksplorasi idenya. Keterbatasan bahasa pemrograman yang dimiliki membatasi eksplorasi ide dalam Bitcoin. Saya masih ingat membaca paper-paper yang mencoba memanfaatkan Bitcoin untuk membuat sebuah sistem fair sharing, yakni mekanisme di mana perdagangan antara dua pihak terakomodasi oleh sistem yang menjamin keadilan yang seadil-adilnya untuk dua belah pihak. Platform blockchain yang tidak memerlukan trust kepada pihak ketiga menyalakan kegairahan untuk membuat sistem baru yang bisa mengubah dunia. Namun nyatanya tak semudah yang dibayangkan, karena fiturnya yang terbatas.
Ethereum dengan konsep Ethereum Virtual Machine dan Turing-complete programming feature-nya menjadi elemen kunci ledakan Cambrian dalam cryptocurrency. Ide-ide yang sudah ada dan dulunya tak bisa berkembang di bawah Bitcoin, diterima dengan sangat mudah dan elegan oleh Ethereum.
Tahun-tahun kelahiran Ethereum dapat dikatakan sebagai era kedua cryptocurrency. Era ini ditandai dengan desentralisasi yang lebih luas, tak lagi soal memperkaya pebisnis aset kripto yang memiliki platform perdagangan sentralistik, Ethereum menunjukkan bahwa ide tentang world computing dapat terwujud. Masa-masa ini adalah masa di mana ekosistem aset kripto tak lagi bergantung pada infrastruktur tradisional. Sistem blockchain yang berkembang dapat mengatasi hambatan yang ada, misalnya, dalam mengakses modal kerja, karena penawaran koin perdana (Initial Coin Offering atau ICO) dapat dibuat dengan sangat mudah.
Usaha-usaha untuk mendesentralisasi juga terlihat dari makin banyaknya “blockchainisasi” produk eksisting. Sebut saja BAT (Basic Attention Token) yang coba menghidupi pemilik media digital tanpa menggadaikan integritasnya dalam iklan yang kadang tak layak tampil. Atau Power Ledger, yang coba memblockchainkan sistem kelistrikan dengan berfokus pada microgrid dan sistem perdagangan energi yang lebih adil.
Tak hanya itu, sistem-sistem keuangan terdesentralisasi (Decentralised Finance atau DeFi) sangat digandrungi orang. Bukan saja karena tak perlu banyak syarat dalam menggunakannya, namun juga pembagian keuntungan yang lebih adil kepada para peserta. DeFi, adalah pengejawantahan koperasi dalam sistem blockchain. DeFi kini mengelola aset kripto bernilai miliaran dolar. Sistem DeFi di antaranya menyediakan protokol perdagangan layaknya pasar uang, protokol pinjam-meminjam uang dengan jaminan (peer-to-peer lending), atau protokol baru seperti pinjam uang instan dan singkat seperti flash-loan yang hanya bisa terjadi dalam teknologi kontrak pintar (smart contract) seperti milik Ethereum.
Vitalik, dengan segudang kesuksesan dan pentahbisan dirinya sebagai triliuner aset kripto, masih memiliki proyek ambisius dengan upgrading protokol Ethereum ke Ethereum 2.0. Ambisius, sebab upgrade ini tak semata-mata mengganti model konsensus Proof-of-Work (PoW) atau mining menjadi Proof-of-Stake (PoS) atau minting yang lebih ramah lingkungan, namun sistem baru ini juga wajib meningkatkan skalabilitas Ethereum secara eksponensial tanpa mengurangi level desentralisasinya. Dengan kata lain, Ethereum 2.0 ini akan membawa teknologi blockchain ke tingkat yang lebih tinggi lagi.
Elon Musk
Jauh sebelum dikenal aktif dalam industri aset kripto, Elon telah dijuluki sebagai Tony Stark-nya dunia nyata. Wajar, karena ide-ide nyentrik yang ia kerjakan memang out of this world alias jauh melewati masanya. Terbukti, teknologi-teknologi yang dikembangkannya sukses besar dan jadi pionir di bidangnya.
Elon memberi kontribusi dalam hal yang jauh berbeda ketimbang dua nama pertama (Satoshi dan Vitalik), namun cukup signifikan.
Elon (dan twitnya) menandai tren baru aset kripto. Tren ini bisa dikatakan sebagai era ketiga industri aset kripto, yang berpusat pada meme atau guyonan. Elon suka sekali men-twit soal Dogecoin. Tiap kali twit, harga Dogecoin menggeliat. Misalnya April lalu, harga Doge melonjak 20% pasca twit Elon. Karena inilah, Elon juga dijuluki sebagai Dogefather. Julukan guyonan juga, buatnya.
Selama ini Dogecoin dianggap seperti anak bawang. Koin yang dibuat untuk lucu-lucuan. Koin yang muncul di tengah hingar-bingar kenaikan populasi aset kripto Bitcoin di era pertama waktu itu, hanya sebagai jokes. Rupanya Dogecoin terus eksis melewati banyak koin serius lainnya. Padahal tak ada pengembangan berarti dalam basis kode (codebase)-nya.
Pasca Elon, muncullah tren token meme baru. Token-token ini punya nama dan logo yang imut. Shiba Inu, Baby Doge, dua ini token-token yang mereplikasi Dogecoin kesukaan Elon.
Era token meme cukup signifikan volumenya belakangan ini. Pun banyak orang saat ini lebih senang membuat token meme dibandingkan token-token “serius” lainnya. Bila token-token serius biasanya membawa misi mulia dan mengubah dunia, token meme biasanya punya tujuan spesifik.
Token kucing untuk kesejahteraan kucing liar misalnya. Atau token anjing yang memberi reward untuk gaya hidup sehat. Atau hal-hal sepele lainnya.
Yang mengejutkan dari kemunculan token-token meme ini adalah ilusi orang akan get rich quick yang tak sirna, bahkan makin menggebu-gebu. Sudah tahu token guyonan, diseriusi pula. Orang tak segan membeli hingga puluhan juta rupiah untuk mengkoleksi token-token ini, yang biasanya didesain agar bervolume besar: dari jutaan hingga triliunan token. Tentu saja, harapan para pembeli itu adalah agar token meme ini sesukses token-token pendahulunya seperti Shiba Inu yang jadi pelopor.
Ya, tentu saja, tujuan jadi kaya instan tak selalu tercapai. Padahal, bila ada yang untung, hampir bisa dipastikan ada yang rugi.
Evolusi, Dulu dan Sekarang
Elon, for better or worse, telah mengubah konstelasi aset kripto menjadi lebih bervariasi. Dari yang super serius hingga yang slengean, ada semua.
Bila dulu aset kripto diarahkan untuk mendemokratisasi banyak komponen bisnis yang tersentralisasi, kini aset kripto lebih banyak ke arah yang lebih santai.
Di sisi lain, perubahan ini juga memperjelas fakta bahwa mayoritas pembeli aset kripto adalah pemburu rente. Tak peduli koin/token apa yang dibeli, asal memberi profit. Tak peduli apakah proyeknya jalan atau tidak, selama harga naik, tak jadi soal. Entah apakah kita mesti khawatir dengan pola ini, atau apakah kita mesti mulai mafhum dengan perilaku orang, yang memang memperlakukan cryptocurrency semata-mata sebagai ajang cari untung dan bukan untuk kebaikan yang lebih besar.
Atau memang, semenjak dulu aset kripto diciptakan untuk menggalang untung?