Di dalamĀ industriĀ mata uang kripto, tidak hanya tokenisasi proses bisnis atau aset saja yang menjadi bahan pembicaraan. Smart contract yang diinisiasi oleh Ethereum juga telah menjadi niche tersendiri. Ethereum menjadi penguasa tunggal selama beberapa tahun sejak rilis pertama dan segera menjadi fenomena baru.
Setelah Ethereum berjaya, muncul beberapa produk lain yang berusaha menyaingi Ethereum, sebut saja NEO. Tidak ingin mengulang “kesalahan” Ethereum yang memungkinkan pengguna menyimpan smart contract “sampah” ke dalam blockchain, NEO memasang tarif luar biasa tinggi kepada para pengembang yang ingin memanfaatkan infrastruktur blockchain NEO. Memang, hanya produk-produk terpilih dan berkualitas saja yang mampu berjalan dalam lingkungan NEO, namun hingga saat ini NEO tidak menunjukkan tanda-tanda mampu mengungguli Ethereum.
Gelombang kedua proyek berbasis smart contract ini dilakukan hampir bersamaan oleh EOS dan Tron. Bila EOS memilih untuk mengadopsi bahasa pemrograman serupa C, maka Tron justru “beradu tanduk” dengan Ethereum dengan memasang Solidity sebagai bahasa pemrograman utama dalam sistemnya. Tidak hanya sampai di situ saja, Tron juga mengkloning produk-produk unggulan dalam Ethereum seperti Remix, Web3, dan Infura menjadi Tron Box, Tron Web, dan Tron Grid.
Bila dilihat dari sisi harga, Tron terlihat jauh lebih murah ketimbang Ethereum yang pada saat artikel ini ditulis diperdagangkan di harga US$112 per keping, sementara Tron US$0,014 atau 1,4 sen dolar AS per koin. Dari kacamata pasar memang Tron lebih murah, namun bagaimana dari sisi teknis smart contract?
Bagi Anda yang belum pernah mempelajari smart contract, perlu diketahui bahwa smart contract serupa aplikasi yang disimpan di dalam blockchain. Cara penyimpanan script smart contract pun amat identik dengan transaksi cryptocurrency biasa. Hanya saja, kode smart contract ini, setelah sukses disimpan di dalam blockchain, bisa dipanggil untuk melakukan perhitungan ataupun menyimpan dan mengelola informasi. Nah, kedua aktivitas ini – penyimpanan dan pemanggilan smart contract – tentu saja membutuhkan biaya. Umumnya biaya deploy (penyimpanan smart contract ke dalam blockchain) dibayar oleh pengembang, sementara biaya pemanggilan smart contract dilakukan oleh pengguna.
Seperti yang sudah dibahas, Ethereum dan Tron memiliki fitur yang amat serupa, bahkan Tron tampak seperti produk knock-down dari Ethereum. Saya melakukan analisis dari sisi harga kedua produk ini saat mengeksekusi smart contract. Eksperimen dilakukan dengan menggunakan compiler Remix (Ethereum) dan JavaScript VM bawaan Remix, serta Tron Studio yang terkoneksi langsung dengan Shasta, testnet milik Tron.
Script yang digunakan adalah HelloWorld.sol yang disediakan oleh Tron Studio, sebagai berikut.
[code lang=”js”]
pragma solidity ^0.4.0;
contract HelloWorld {
// Define variable message of type string
string message;
// Write function to change the value of variable message
function postMessage(string value) public returns (string) {
message = value;
return message;
}
// Read function to fetch variable message
function getMessage() public view returns (string){
return message;
}
}
[/code]
Dari snippet di atas akan dihasilkan 2 fungsi, yakni fungsi postMessage dan getMessage. Fungsi pertama digunakan untuk menyimpan pesan berukuran sembarang, sementara fungsi kedua untuk memanggil pesan yang telah disimpan tadi.
Saat eksperimen dilakukan, Ethereum diperdagangkan di harga US$115, sementara Tron bernilai US$0.014 dengan USD1 = IDR14.300. Mari asumsikan gas cost di harga 3 Gwei per gas.
Deployment HelloWorld.sol membutuhkan total sekitar 500K gas di Ethereum dan 16 TRX di Tron. Dengan perhitungan sederhana, biaya deployment di Ethereum adalah 0,0015 Ether atau sekitar IDR2.500. Sementara di Tron ongkosnya adalah IDR3.200. Ethereum lebih murah.
Setelah deployment, eksperimen selanjutnya adalah menyimpan satu karakter “a” ke dalam smart contract dengan menggunakan fungsi postMessage. Sistem Tron memakan biaya 2 TRX (IDR400), sementara Ethereum 66K gas (IDR286). Ethereum kembali mengungguli Tron.
Eksperimen ketiga adalah menyimpan pidato Bung Karno pada saat proklamasi kemerdekaan RI 1945. Eksekusi di Ethereum membutuhkan 2,4M gas atau setara IDR11.840, sementara di Tron 113 TRX atau IDR22.600. Lagi-lagi, Ethereum juara.
Ketiga eksperimen di atas menggunakan asumsi yang diambil menunjukkan bahwa klaim Tron yang memiliki biaya transaksi lebih murah ketimbang Ethereum tidak terbukti, setidaknya dengan kondisi pasar saat ini, di mana harga Ethereum tinggal sepersepuluh dari harga tertingginya. Bila Ethereum mendapatkan momentum kenaikan harga dibanding Tron atau bahkan sebaliknya, barangkali keadaan akan jauh berbeda, termasuk bila sang pengguna menaikkan gas cost, menjadi 6 GWei misalnya.
Selain itu, eksperimen dilakukan dengan tidak memanfaatkan Tron Energy yang bisa didapatkan dengan gratis dengan cara melakukan freezing token Tron selama minimum 3 hari. Tron Energy diklaim dapat menjadi bahan bakar untuk melakukan komunikasi dengan smart contract, ditambah Tron Bandwidth yang digunakan untuk menyimpan transaksi ke dalam blockchain, yang bisa didapatkan dengan cuma-cuma. Dengan memasukkan dua komponen ini ke dalam eksperimen barangkali visi Justin Sun untuk mengungguli Ethereum memang benar-benar tercipta.
Artikel yang menarik, thanks bang Dimaz. Semoga progres blockchain/cryptocurrency makin berkembang dikemudian hari, mengingat saat ini banyak orang frustasi karena long bear market crypto tahun ini sehingga minat thd blockchain menurun drastis
artikel yang sangat bagus mas. jangan lupa kunjungi juga situs berita saya di https://korancrypto.com